Friday, February 17, 2012


Pembatasan BBM dan Teknologi RFID

Sekilas tidak ada kaitannya antara pembatasan BBM bersubsidi dengan teknologi RFID.    Pembatasan BBM lebih bernuansa politik ekonomi dan berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam mengatur  subsidi energi  agar tepat sasaran, sedangkan teknologi RFID yang saat ini masih kedengaran asing di Indonesia merupakan sebuah teknologi yang menggunakan radio frekuensi untuk identifikasi produk.     Namun, kerumitan dalam pengelolaan energi fossil ini membawa kita kepada pemanfaatan teknologi RFID untuk pengendalian BBM bersubsidi.

Pengendalian BBM Bersubsidi
Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi yang dicanangkan pemerintah salah satunya disebabkan oleh terbatasnya kemampuan produsen dalam negeri dalam menyediakan BBM dalam jumlah yang memadai.  Seperti yang telah dibahas pada tulisan di Majalah Dismatau edisi sebelumnya (berjudul “Sumber Daya Minyak, Benarkah Terbatas?),  konsumsi White Products seperti premium, solar, kerosene dan Avtur di Indonesia mencapai angka 1,3-1,4 BOPD (Barrels Oil Per Day)  atau lebih besar dari kapasitas kemampuan pengolahan minyak mentah (crude oil) yang hanya 1 juta  BOPD, sehingga selisihnya harus diimport dari luar negeri.   Lebih tragis lagi, dari total kapasitas pengolahan yang ada, sebanyak 40% bahan dasarnya (crude oil) adalah merupakan hasil import.     
Disisi lain, kebijakan pembatasan BBM juga dipengaruhi oleh kecendengan (trend) kenaikan harga minyak dunia.    Fluktuasi kenaikan harga dunia tidak hanya disebabkan oleh faktor fundamental, seperti  supply and demand, stok minyak dunia dan nilai valuta asing superior.     Faktor lain yang justru sangat besar pengaruhnya adalah kondisi  geopolitik negara-negara penghasil minyak, terutama negara-negara  Timur Tengah.     Dilihat dari sejarah perkembangan harga minyak dunia, pada awal tahun 1970-an harga minyak mentah dunia hanya berharga USD 3 per barel saja.     Sejak perang Arab-Israil pada tahun 1973, harga minyak meningkat 4 kali lipat menjadi USD 12 per barel.      Krisis Iran-Irak pada tahun 1979-1981 memperparah harga minyak hingga USD 35 per barel.     Harga minyak terus berfluktuasi antara USD 13 hingga 30 per barel dari tahun 1986 hingga 2000.   Puncak kenaikan harga minyak terjadi pada tahun 2008  sebesar USD 123 per barel.    Terpengaruh oleh krisis kepemimpinan di negara-negara Timur Tengah, saat ini harga minyak berfluktuasi disekitar angka USD 110/barel sampai dengan USD 120 per barel dan diprediksi akan mencapai angka USD 130 per barel di tahun 2013.   
Sebenarnya apa pengaruh fluktuasi harga minyak dunia terhadap harga minyak dalam negeri?   Pertama, Indonesia saat ini masih tergolong negara net importir minyak, sehingga kenaikan harga minyak dunia akan menjadi beban dalam penyediaan minyak dalam negeri.    Kedua,  Harga minyak di Indonesia masih disubsidi oleh pemerintah, sehingga melambungnya minyak dunia akan sangat membebani APBN.   Hingga saat ini harga BBM di Indonesia masih tercatat terendah di kawasan Asia Tenggara yang juga berarti bahwa subsidi energi yang harus ditanggung APBN masih sangat tinggi.   Kenaikan harga minyak dunia akibat krisis Timur tengah belakangan ini menyebabkan beban subsidi membengkak, karena asumsi harga minyak dalam penetapan APBN 2011 hanya sebesar USD 80 per barel.   
Sejauh ini untuk mengatasi permasalahan minyak, pemerintah telah melakukan kebijakan-kebijakan yang antara lain dengan mengurangi beban subsidi atau dengan kata lain menaikkan harga BBM.    Tercatat sudah beberapa kali kenaikan harga BBM terjadi terutama terhadap premium, solar dan mitan.  Kebijakan menaikkan BBM merupakan pilihan yang sangat sulit, karena jika salah langka justru akan berakibat pada munculnya social and political unrest.   Namun dengan kondisi APBN yang tidak kompetitif, memelihara subsidi energi yang besar akan berakibat kepada terabaikannya pembangunan di bidang lain seperti pendidikan, infrastruktur dan kesehatan masyarakat.   
Menaikkan harga BBM berarti mengurangi subsidi yang harus ditanggung, sehingga ada anggaran kompensasi yang oleh pemerintah dapat diwujudkan dalam subsidi langsung BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan program ketahanan pangan seperti raskin, beasiswa pendidikan dan kredit usaha rakyat.     Namun di saat kebijakan menaikkan harga BBM menjadi semakin sulit, maka kebijakan pembatasan BBM bersubsidi menjadi alternatif pilihan.    Terlebih-lebih, disinyalir bahwa subsidi yang sudah berjalan bertahun-tahun di Indonesia telah salah sasaran, karena lebih banyak dari penikmat subsidi merupakan warga yang mampu membeli BBM non subsidi.    Dengan pembatasan BBM bersubsidi diharapkan pemberian subsidi dapat tepat sasaran dan sebagian masyarakat dapat beralih menggunkan BBM non subsidi, seperti Pertamax, Pertamax Plus dan Bio Pertamax.
Mengatur pembatasan BBM bersubsidi tidaklah mudah.    Dengan budaya masyarakat Indonesia saat ini, orang akan melakukan berbagai cara agar tetap dapat memperoleh BBM dengan harga subsidi.    Oleh karena itu, perlu cara agar pembatasan dapat berjalan dengan akurat dan tepat.   Kajian penggunaan teknologi identifikasi,  akhirnya menjadi harapan untuk meningkatkan akurasi pengaturan kuota atau jatah BBM terutama bagi angkutan umum.     Ada tiga jenis teknologi yang rencananya akan digunakan dalam pembatasan BBM bersubsidi, yaitu Barcode, Smart card dan RFID.     Dari ketiganya, teknologi RFID masih kedengaran asing di Indonesia, walaupun di negara-negara maju teknologi ini sudah cukup luas penggunaannya terutama di bidang industri.  Agar lebih mengenal teknologi RFID, perlu sedikit penjelasan tentang apa itu RFID dan bagaimana bisa RFID digunakan untuk mendukung pembatasan BBM bersubsidi di Indonesia.

Perkembangan RFID
Perkembangan teknologi identifikasi diawali dari adanya kesulitan dalam mengenali dan mengendalikan produk dengan jumlah yang besar dalam waktu yang singkat. Pesatnya perkembangan teknologi ini sejalan dengan perkembangan komputer dari perusahaan International Business Machines (IBM).   Sebelum ditemukan Barcode, proses sensus penduduk dan inventory control  di Amerika menggunakan cara manual dengan menempatkan orang dalam lingkaran kegiatan.    Selain memakan waktu yang lama, proses manual ini juga mempunyai resiko human error akibat keletihan dan hilangnya konsentrasi.
Embrio barcode dikenal dengan nama Bull’s-eye code yang diciptakan oleh Norman Woodland pada tahun 1948.   Bull’s-eye code merupakan kumpulan garis berbentuk lingkaran simetris dengan ketebalan berbeda-beda yang mewakili data-data identifikasi produk.   Karena teknologi laser saat itu masih sangat mahal maka sebagai scanner digunakan lampu RCA berkekuatan 500 watt yang dapat men-scan kode dari berbagai arah.   Namun produk ini kurang diminati pasar karena tidak efisien dan berharga mahal. 
                                                           Source: Shepard, 2005
Gambar 1.  Contoh bentuk Bull’s-eye code
Pada tahun 1966, Woodland yang bekerja di bagian riset IBM menciptakan UPC (Universal Product Code), yaitu sistem pengkodean  untuk aplikasi Linear Barcode di bidang industri.    Barcode yang merupakan terdiri dari kumpulan baris vertikal dengan tebal bervariasi mulai meluas digunakan di industri groseri dan retail pada tahun 1972.     Sistem serupa juga berkembang di Jepang dengan nama JAN (Japanese Article Number) dan di Eropa dengan nama EAN (European Article Number).      Keduanya sama-sama menggunakan Linear Barcode namun mempunyai jumlah kode digit yang berbeda.




                            
                                                 Source: Burke, 1984
            Gambar 2.  Contoh Linear Barcode

Teknologi Identifikasi semakin maju setelah ditemukan dan dikembangkan RFID.   RFID atau Radio Frequency Identification secara otomatis  dapat mengenali data digital yang tersimpan dalam tag atau smart label.    Tidak seperti Linear Barcode yang menggunakan optical scanning, RFID menggunakan frekuensi radio untuk mentransmisi data dari tag atau smart label ke software komputer.
Pada dasarnya sistem RFID terbagi menjadi 3 (tiga) komponen yaitu Tag atau ResponderReader atau Interrogator dan Host Computer.   Tag merupakan sebuah chip berisi Integrated Circuit (IC) dan coupling element.  IC atau microchip dilengkapi memory  yang  dapat diisi dengan data tentang spesifikasi barang atau produk.    Sedangkan  coupling element  adalah antenna yang menangkap informasi dari tag.     Ukuran tag bervariasi,  mulai dari yang hanya berupa label hingga berbentuk sebuah perangkat yang cukup besar.   Tag biasanya ditempelkan (embedded) atau diinstalasi pada produk, kendaraan atau kemasan barang yang diidentifikasi.



Gambar 3.   Contoh sederhana sebuah tag.

Reader merupakan sebuah alat yang dapat mengenali dan memproses data pada tag.    Komponen dasar sebuah reader adalah transmitter- receiver yang memproses frekuensi radio (RF), digital signal processor dan antenna.   Reader  sederhana hanya dapat menangkap satu sinyal saja dari tag, namun reader yang kompleks dapat menangkap banyak sinyal dari tag yang berkeliaran di dalam radius efektifnya (multiple-tags reading).     
Gambar 4.  Contoh sebuah Interrogator

Perangkat penting lainnya adalah Host Computer yang berupa hardware dan software yang menjadi otak pengolahan data.   Tingkat kemampuan aplikasi software yang dibuat tergantung dari kompleksitas pekerjaan yang dibebankan kepada sistem  RFID.   Semakin  beragam data yang harus diolah, maka semakin besar dan rumit database yang diperlukan.    Disamping mengelola data, aplikasi software juga memuat enkripsi untuk kode pengamanan data, sehingga bisa diaktifkan melalui  keyword atau password untuk mengakses (decrypt)  data pada RFID.
RFID beroperasi dalam luasan frekuensi yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan.   Low Frequency (30 -300 KHz) umumnya digunakan untuk aplikasi dengan radius pendek seperti anti-theft system.   Untuk radius operasi yang lebih luas, RFID menggunakan High Frequency (3-30 MHz) yang umumnya digunakan pada smart card/label dalam industri dan tracking bagasi pada perusahaan transportasi.    Kegiatan warehousing dan supply chains biasanya menggunakan Ultra High Frequency dan Microwave Frequency (300 Mhz-3 GHz).

Cara Kerja Sistem RFID
Sistem  RFID sederhana saat ini dikenal sebagai EAS (Electronic Article Surveillance) yang  banyak diaplikasikan di pusat perbelanjaan modern untuk mengamankan produk-produk agar tidak keluar sebelum dilakukan pembayaran di kasir (anti-theft system).   Tipe tag yang biasanya melekat pada produk pakaian ini  berjenis 1-bit tag yang artinya data yang dimiliki hanya mempunyai 2 state, yaitu 1 (tag terbaca oleh reader) dan 0 (tag tak terbaca oleh reader).    Ketika seseorang yang diduga pencuri membawa barang ke luar area pertokoan tanpa melalui kasir, maka sinyal radio dari interrogator akan mengaktifkan tag pada barang tersebut dan mentransmit data yang akan mengaktifkan detektor suara atau alarm.
Gambar 5.  Prinsip kerja EAS

Sistem RFID untuk operasi yang lebih rumit biasanya menggunakan tag dengan tipe n-bit.   Misalnya tag untuk pembatasan BBM yang direkatkan atau diinstalasi pada kendaraan umum pengguna BBM bersubsidi.     Pada saat kendaraan umum memasuki radius operasi interrogator (sekitar 10 meter atau lebih), maka sinyal frekuensi radio akan mengaktifkan embedded tag kemudian akan dipantulkan kembali berupa frekuensi yang berisi data yang akan ditangkap kembali oleh interrogator.    Data kendaraan umum  yang akan terbaca di host computer kemungkinan berisi spesifikasi dan nomor kendaraan, quato atau jumlah jatah BBM yang diperbolehkan dan sisa quota BBM subsidi yang masih bisa diambil.   Dengan data tersebut, petugas SPBU akan mengetahui bahwa kendaraan umum tertentu telah melebihi jatah pengisian BBM bersubsidi, sehingga pengaturan jatah BBM dapat dilaksanakan.
Gambar 6.   Prinsip kerja RFID dengan  multi-tag reader

Di negara maju RFID sudah diaplikasikan luas di banyak bidang, antara lain retail, industri, bisnis logistik  dan militer.    Di bidang  ritel, RFID digunakan sudah lebih dahulu sebagai bagian dari inventory control dan security barang-barang di pusat perbelanjaan berskala besar.    Sedangkan di dunia industri penggunaannya berkaitan dengan integrasi pengelolaan data dalam rantai produksi (supply chains) sebuah produk.    Bisnis logistik memanfaatkan teknologi RFID selain untuk memudahkan identifikasi dan pengelolaan data barang juga sebagai material tracking devices.     Dunia militer merupakan pengguna RFID yang cukup luas dan beragam, terutama dalam  asset  and vehicle tracking dalam pengelolaan logistik militer.

Teknologi RFID memang cukup menjanjikan dalam membantu pelaksanaan pembatasan BBM bersubsidi di Indonesia.   Namun teknologi apapun tidak akan banyak memberikan manfaat jika tidak diawaki oleh orang-orang yang beritikad baik.   Begitu teknologi ini dirasa menghambat kepentingan segelintir orang, maka akan ada ribuan cara mengakali agar sistem tidak berjalan dengan optimal.    Oleh karena itu diperlukan  tidak hanya pelatihan bagaimana mengoperasikan sebuah aplikasi teknologi, namun diperlukan suatu komitmen dan disiplin agar tujuan dari penggunaan teknologi tersebut dapat tercapai.   Wassalam. 

No comments:

Post a Comment

If you wanna give a comment, write it in here ....

Note: only a member of this blog may post a comment.